“Papa pernah bercerita, kalau Papa lupa akan rumah, Papa akan kembali dengan Mustang lawas Papa, ngejar Mamamu dan bawa dia jalan-jalan,” lantas pria itu terkekeh. Melanjutkan aktivitas menulisnya yang tak bersemangat itu, kemudian menggulirkan tatapan ke arah putera sulungnya. “sampai mati, Rail! Papa nggak pernah kesampaian ngelakuin itu buat nunjukin Papa naruh dedikasi Papa buat jadiin Mamamu sebagai nomor satu!”
Memang benar ya, semuanya yang bersisa hanyalah penyesalan.
Lihatlah pria tua ini, menatap lembaran-lembaran kertas dan dokumen yang berserakan ke sana-sini di seluruh ruangan kerjanya hanya asik bekerja dan menyedot cerutunya.
Pria itu tampak seperti mayat hidup. Kadang tertawa terbahak-bahak selama seminggu terakhir ini, kadang menangis, kadang juga memukuli kepalanya mengeluh sakit migrain.
Berhari-hari pria paruh baya itu tidak tidur. Tak juga memakan sesuap nasi. Selain hanya merokok cerutunya, mengisap weed; yang bahkan tidak ia tahu bagaimana Papanya mendapatkan itu semua.
Buru-buru pemuda sulung itu membereskan kekacauan. Menghela nafas kencang dan membuka pintunya.
“Pa, udah Pa! Ayo makan! Nggak enak dilihat om Yuanshu. Ko Theo juga masih ada di bawah.”
“Perceraian?”
Liànlei mendengus kasar. Ia tatap lamat-lamat Papanya yang menyedihkan. Lantas menarik paksa cerutu itu sebab Andrean sudah cukup sakau mengkonsumsi narkotika itu berlebihan.
“Pa, makan!”
“Seharusnya aku cerein Mamamu sebelum dia meninggal.”
“PA!”
Membuat yang diajak bicara mendongak. Melempar senyum, tertawa kecil hingga tangan kanannya menyodorkan secarik kertas usang.
Tiket sekali jalan ke Edinburgh.
“Beliau sudah lama merencanakan ini,”
“Maksud Papa?”
“Papa nggak mampu membuat pembelaan untuk meminta kedua putra Papa memilih percaya pada Papa atau nggak. Tapi satu hal yang pasti, Papa sayang sama keluarga Papa.” Pria itu menunjuk foto keluarga yang terbingkai apik di dinding. “Sama mendiang Safi, sama Railo, sama Adnan. Papa sayang sama kalian semua!”
“Papa nggak cerita tentang ini.”
“Papa nggak pernah sekalipun berpikir untuk ngerebut kamu dari Mamamu. Papa nggak mau kamu kehilangan figur ibu, nak!”
“Tapi terlambat,”
Lantas Andrean balas senyum putera sulungnya yang tampan itu, memberikan elusan di rambutnya yang lepek; yang menatapnya penuh rasa kasihan.
“Jangan pernah membenci ibumu!”
Bodoh.
Bisa-bisanya pria tua tidak tahu diri satu ini memintanya untuk tidak membenci ibunya saat ia tahu, mungkin, kalau insiden kecelakaan itu tidak terjadi, dan serangkaian perceraian itu berhasil, mungkin ia lebih yakin bahwa ia dan Anliang akan ditelantarkan begitu saja di Bogor tanpa memiliki hak resmi Andrean sebagai bapak.
“Tutup mulut Papa dan ayo turun!”
“Wanita itu,” cukup membuat Liànlei membagi fokus sehingga menghentikan langkah ragu. “memang benar wanita itu menyukaiku, Rail.”
“Brengsek!”
Sudah cukup Liànlei menahan diri untuk tidak mau tahu apapun alasan di antara keduanya, tapi pria tak tahu diri ini terus saja berbicara tanpa henti sehingga membuatnya mencengkeram kerah baju Papanya penuh amarah.
“Papa mau kamu tanya apapun yang ada di dalam kepalamu, Rail!”
“Jangan panggil gue Railo. Gue cuma anaknya Zhang ShenYi!”
“Bukannya ada?” Pria itu membuat Liànlei mencelos. Justru membuat kedua matanya total memerah dan menjatuhkan air matanya sekali lagi. “Kamu bilang aja, apa yang pengen kamu tanyain ke Papa. Papa janji bakal jawab semua pertanyaan kamu, Rail!”
Brengsek!
Brengsek! Brengsek! Brengsek! Brengsek!
Kenapa di saat-saat yang seperti ini, ia harus meluapkan emosi bodohnya dengan menangis padahal seharusnya ia murka pada Papanya.
“Tentang bagaimana Papa nemenin Railo kecil yang baru belajar jalan, yang menginjakkan langkah kaki pertamanya, hm?”
Diam.
“Atau bagaimana Papa ngajarin sulung jagoannya Papa belajar naik sepeda? Memori pas Papa nganterin Railo kecil ke IGD gara-gara takut kena tetanus sama tingkah nakalnya mukul anak tetangga pake kayu yang ada paku berkaratnya, yang mana?”
Diem.
“Papa tau kamu nggak mungkin menanyakan pertanyaan-pertanyaan klise kayak gitu, Papa mau denger pertanyaan kamu tentang kehidupan.”
“Pa, please…”
“Papa cuma punya Railo sama Adnan sekarang.”
“Papa…”
“Mamamu belum usai, Papa tahu betul itu,” Membuat Liànlei terisak. Mulai melepaskan cengkeramannya di kerah kemeja Papanya yang lusuh. Ia berganti mengepalkan tangan. Memohon Andrean untuk berhenti bicara lebih jauh. “Papa nggak bisa berhenti waktu perusahaan Papa terancam bangkrut. Sekretaris Papa yang mau menolong Papa, tapi kesalahpahaman itu berlanjut. Papa lepas kendali, memukul Mama dan mengancam pergi dari rumah. Papa tahu, Papa alasan dari segala kekacauan yang terjadi.”
“Pa… cukup!”
“Wajahmu mirip dengan ShenYi. Temperamenmu juga menurun darinya. Nggak heran dia selalu bilang cuma putera sulung kita yang bisa ngertiin maunya dia. Bukan Papa, bukan juga Adnan.”
Tapi cuma Papa yang bisa ngertiin Liàn.
Cuma Papa!
“Kenapa Papa balik waktu itu, Pa?”
Akhirnya Liànlei melontarkan tanya. Pemuda itu harap-harap cemas mulai mencakari buku-buku kukunya. Seolah takut akan jawaban, juga takut akan hal lain yang seolah-olah, menantinya hancur!
Sementara, kali ini, membuat pria paruh baya itu tersenyum simpul. Mengelap pipi sulungnya yang berlinangan air mata enggan berhenti.
“Memeriksa ShenYi.” Ucapnya lugu. Sampai pria itu memilih mengistirahatkan tubuhnya, bertahan pada posisi terduduk. Memandangi foto keluarga yang terasa hanya bersisa kenangan dari jarak pandangnya yang samar. “Bukankah Papa sudah bilang kalau Papa menyayangi semua anggota keluarga Papa?” Pria itu memejam, tersenyum entah pada apa. Membuat Liànlei berkali-kali harus memalingkan wajahnya merasa malu. “Cincin yang Papa bawa untuk ShenYi, cincin untuk memperingati anniversary pernikahan kami.”
Deg!
Pemuda itu lantas kalang kabut mengedarkan pandangan ke sekitar. Mencari-cari boks kotak cincin yang ia tak salah ingat, berada di meja kerja Papanya kemarin.
Liànlei total merasa kalut. Hancur sudah semua pertahanannya saat ia berhasil temukan kotak cincin itu di dalam laci tepat di hadapan Papanya menghabiskan waktu seharian penuh di atas meja ini. Menyelesaikan pekerjaan, berjuang menyelamatkan bisnis yang hampir bangkrut itu, sampai rela menghadapi beberapa terjang hidup yang tak sedikitpun beranjak henti. Sampai menghilangkan isterinya. Sampai merenggut sosok ibu bagi Liànlei dan Anliang.
“Pa… kenapa?”
“Papa mencintai Safi… Papa mencintaimu, Railo… juga Adna..”
Satu hal lagi yang pemuda itu tak mengerti. Entah perasaan yang bercongkol dalam hatinya terlampau kuat, atau malapetaka yang seakan berteman kepadanya. Tapi yang jelas, saat ia menjatuhkan diri terduduk di samping meja kerja Andrean, ia sama sekali tak berani menatap Papanya menghembuskan nafas terakhir.
Liànlei,
Liànlei.
Seorang manusia bodoh.
Pengecut.
Yang membiarkan dirinya kalah.
Untuk kedua kalinya.
Tidak mengerti keadaan, tidak mengerti bagaimana tata kerja seperempat bagian hidup ini bergerak. Saat satu-persatu, poros hidupnya ditarik sekali lagi. Dan Tuhan sama sekali enggan untuk memberikannya secercah iba.
Pemuda itu mencengkeram kuat lengannya. Sementara dadanya bergemuruh. Tidak ada lagi suara yang memberisik dari bibir Papanya. Tak juga ia dengar suara gemericik air, tak juga suara denting waktu yang bergerak, maupun helaan nafas teratur dari bibir Papanya.
Manusia sia-sia itu telah berpulang.
Tersiksa oleh cerutu weed dan asam lambungnya tanpa memberikan izin bagi Liànlei menyelamatkan sekali lagi sosok yang ia cintai.
“Pa… hiks!”
Air matanya keruh, total memadam saat segala yang ada di dalam pikirannya memberisik sahut-menyahut tiada henti. Sekali lagi, sekali lagi Liànlei merasa kalah.
Idenya sendiri untuk masuk ke kamar itu beberapa hari ini meminta baik-baik Papanya untuk turun makan, atau sekedar membawakan makan, meski Liànlei tahu; pria itu enggan menyentuhnya!
Selama beberapa hari pula, ia habiskan untuk menghirup bersama-sama weed yang terbakar di udara, yang membuat bergumul-gumul pernafasannya padu terasa menyesakkan, lebih menyesalkan Liànlei yang melihat Papanya menyakiti diri sampai akhir.
"Hahaha, egois!"
Idenya sendiri untuk beralibi menghampiri Andrean, untuk sekedar meminta satu kata maaf. Mendengar permintaan maaf yang tidak pernah ia dapatkan dari Papanya. Sedang Mamanya seumur hidup tak pernah mengucapkan terimakasih dan merasa cukup!
“Pa, jawab pa…”
Maka di sinilah Liànlei berada, memenuhi validasinya sendiri, hanya untuk merasa lebih baik dari hari kemarin. Namun, sekali lagi dunia bersorak-sorai untuk memberinya luka yang bertubi.
Keterlaluan!
Aku cuma pengen denger kata maaf dari Papa. Bukan yang lain!
“Railo benci Papa…”