“Buka pintunya, buka pintunya, Pa!”
Pemuda itu sudah kehabisan cara untuk menggedor pintu ruang kerja Andrean yang tertutup rapat sejak dua hari lalu. Luka yang masih belum bisa ia tangani sendiri, luka yang masih basah merobek hatinya, keduanya juga merasakan sama-sama kehilangan.
Paham bahwa segalanya tidak bisa digunakan untuk menyalahkan satu sama lain.
Belati yang rasanya saling menusuk relung keduanya, bahkan tak terasa apa-apanya saat telunjuk dan jari tengah Liànlei lecet berdarah tak berhenti mengetuk pintu untuk meminta Andrean berhenti menghukum diri.
“Aku janji nggak akan nyalahin Papa… please, Pa! Anliang butuh Papa. Kami butuh figur Papa di saat-saat seperti ini…”
Tak terhitung berapa kali Theo menarik kasar tubuh Liànlei yang tak mau beranjak menyemayamkan peristirahatan terakhir Safi. Pemuda itu juga keras kepala memaksakan diri pinta Andrean mengejar isterinya, setidaknya untuk terakhir kali.
“Terakhir kali, Pa… Tolong, Railo mohon…”
Saat-saat seperti ini, saat-saat Liànlei memohon mau sampai mulutnya berbusa dan menangis darah sekalipun, kalau Andrean tidak mau beranjak, proses dikebumikannya mendiang isterinya itu tidak akan terlaksana.
“Railo janji akan jadi anak baik, Pa… Railo janji ikutin kemauan Papa, tapi tolong bukain Pa, Railo akan ikut Papa… Railo butuh ayah- hiks! Adnan butuh sosok ayah, Pa! Kalau papa kacau, kami juga kacau, Pa! Pah... please Pa, untuk sekali aja… sekali!”
Tanpa sepengetahuan mereka, Andrean tengah berdiri di ambang pintu. Setia berdiri menyentuh sisi lain pintu yang digedor berkali-kali dengan putus asa itu sambil menahan sesal.
Anak sulungnya merosot sejak sepuluh jam yang lalu, menangis gugu sambil membenamkan wajahnya, sesekali menarik kuat engsel pintu yang tak bisa sedikitpun bergerak, memukul-mukul dadanya sendiri.
“Lei kita kebumikan mendiang ShenYi dulu, Mamamu udah nungguin.”
Kataku, lebih baik kau tutup mulut!
Bukan sekali dua kali, Liànlei berusaha menepis pikirannya yang kacau akan kecelakaan tragis yang melayangkan nyawa ibunya, saat Theo berujar begitu pun, rasanya temperamennya justru meledakkan diri.
Ia malah meninju wajah Theo tepat di hadapan para tamu dan sanak saudara yang membantunya bangkit. Menciptakan kekacauan lain.
“Liàn, Liàn, kendalikan dirimu! KO LIÀN CUKUP! TOLONGIN- TOLONGIN CE, YÌ— LIÀN SUDAH!”
“Bangsat, lepasin GUE!! ANJING!”
Memalukan.
Hadirin yang jauh-jauh mengantarkan mendiang Zhang ShenYi dikebumikan, justru mendapat suguhan dengan tingkah kekanak-kanakan cucu sulung Zhang.
“Kamu harus tau kapan kamu berhenti,” Liànlei tidak mendengar. Barangkali kupingnya salah menangkap suara, ia hanya mengerlingkan mata tidak mau melihat semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. “kamu harus bisa mengalah, Liàn!”
Pemuda itu termangu. Terpeleset jatuh di kedua lututnya yang menumpu tubuh lemas itu. Bukan hanya Andrean yang memilih mengurung diri di ruang perpustakaan sendirian tanpa makan dan minum, adalah Liànlei yang ikut melakukan tingkat menyakiti diri sendiri yang sama.
“Pa…”
“Kita bacakan pidato terakhir buat Mama.”
Telah luluh lantak.
Ini akan menjadi akhir hidupnya.
Akankah aku benar-benar mengakhiri segalanya sampai di sini? Bagaimana dengan Anliang? Bagaimana dengan aku?
Sosok yang mengajarkanku rasa kasih dan sayang senyata itu, yang merapalkan pinta agar aku tak perlu mempercayai Papa, ternyata adalah sosok yang sama yang mengkhianatiku di titik paling tinggi kepercayaanku bermuara.